Dunia Kepenyuntingan di Mata Dua Maestro

(Lagi-lagi mohon maaf, posting yang ini, sama dengan posting sebelumnya, agak di luar konteks mabukbahasa. Semata karena kami penyelenggara seminar ini, dan belum punya media untuk menyebarluaskan kabar serta hasil obrolan di seminar ini hehe. Harap maklum.)

Berikut adalah makalah Mas Bambang Trim dan Mas Eko Endarmoko, yang disampaikan dalam Seminar Perbukuan dan Kepenyuntingan: “Revitalisasi Peran Editor dalam Kerja Perbukuan dan Pengembangan Bahasa Indonesia”, kami selenggarakan di UC UGM Yogyakarta, 14 Januari 2010.

MAKALAH 1

Editor (Memang) Bukan Sekadar Titik-Koma!

oleh Bambang Trim*)

Disampaikan dalam Seminar Nasional Perbukuan dan Kepenyuntingan: “Revitalisasi Peran Editor dalam Kerja Perbukuan dan Pengembangan Bahasa Indonesia”.


Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata ‘editor’? Ya, akan sangat bergantung pada pengalaman Anda. Ketika Anda banyak bergumul dengan media massa, seperti majalah atau koran atau juga buku, Anda pun akan berpikir bahwa editor adalah seseorang yang bertugas memeriksa bahan-bahan publikasi media sebelum naik cetak. Demikianlah sehingga editor atau dipadankan dalam bahasa Indonesia menjadi penyunting atau pengedit berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat dideskripsikan sebagai ‘orang yang mengedit naskah tulisan atau karangan yang akan diterbitkan dalam majalah, surat kabar, dan sebagainya’.

Ada yang menarik dari tajuk KBBI edisi keempat ini bahwa editor kemudian diturunkan lagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut.
1. Editor bahasa yaitu penyunting naskah yang akan diterbitkan dengan memperhatikan ejaan, diksi, dan struktur kalimat.
2. Editor pengelola yaitu petugas yang bertanggung jawab atas penyampaian berita di televise dan radio (pada surat kabar dan majalah disebut redaktur pelaksana).
3. Editor penyelia yaitu manajer penyunting yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas para penyunting secara tepat dan efisien sesuai dengan yang telah ditentukan.
Dari pembagian tersebut dapatlah kita mafhum bahwa editor adalah karier yang berjenjang dengan spesifikasi tugas tertentu.

Editing berkembang sebagai ilmu dan keterampilan dalam ranah ilmu penerbitan (publishing science). Sejak Gutenberg menemukan mesin cetak tahun 1400-an terjadi produksi tulisan secara massal. Mulailah para praktisi penerbitan dan percetakan berpikir bagaimana mengurangi berbagai kesalahan di dalam hasil cetak. Keterampilan editing pun berkembang seiring dengan kemajuan teknologi cetak. Karena pada dasarnya semua bahan cetak diantarkan dengan bahasa (selain dilengkapi dengan gambar), editing utama pun yang berkembang adalah perbaikan dan penyelarasan bahasa.

Bagaimana dengan di Indonesia? Berdasarkan fakta sejarah, editor telah eksis dalam dunia penerbitan di Indonesia sejak lampau—jauh sebelum Balai Pustaka didirikan (1917). Hal ini dibuktikan dari puisi berjudul “Syair Jalanan Kreta Api” karya Tan Teng Kie (dalam buku Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebudayaan Indonesia, jilid 1, 2000). Di antara syair itu berbunyi demikian: Jalanan kreta api saya syairkan/Sekali’an personel saya sindirken/Tuwan editor biyar fikirken/Jikalaw senang minta tlahirken (=terbitkan) // Tuwan editor Regensburg namanya/Mengeluwarkan buku pekerja’annya/Regina Orientis merek kantornya/Necis aturannya di Senen adanya.

Di Balai Pustaka sendiri kita mengenal editor-editor terkenal seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan H.B. Jassin—mereka kemudian dianggap sebagai tokoh perintis profesi editor di Indonesia. Walaupun demikian, kesadaran menggunakan ‘editor’ secara umum justru tidak serta merta muncul pada penerbit kontemporer Indonesia pasca-Balai Pustaka. Pada masa 1970-an dan 1980-an banyak penerbit Indonesia tidak menggunakan editor sebagai petugas resmi di penerbit, tetapi menggunakan tenaga guru untuk mengedit sejumlah tulisan yang waktu itu terbanyak berkembang adalah buku teks dan buku-buku bacaan dalam proyek Inpres. Barulah pada 1990-an ramai penerbit mencari editor yang juga didukung oleh dibukanya program studi editing pertama di Indonesia yaitu di Fakultas Sastra Unpad, Program Studi D3 Kebahasaan pada 1988 yang kemudian diikuti oleh pembukaan Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Grafika dan Penerbitan pada 1990.

Para pendorong profesi editor yang kita kenal sejak 1970-an adalah tokoh-tokoh perbukuan, seperti Pamusuk Eneste, Hassan Pambudi, Frans M. Parera, Dadi Pakar, Sofia Mansoor, dan Mula Harahap. Di media massa, kita kenal satu nama perintis editing bahasa di media massa yaitu Slamet Djabarudi (Tempo). Lalu, kemudian profesi ini pun berkembang dan menguatkan eksistensinya dalam jagat penerbitan buku maupun penerbitan media massa di Indonesia. Namun, eksistensi yang diperjuangkan itu pun belumlah mapan mengingat banyaknya hal yang belum dipahami oleh awam, bahkan penggiat penerbitan sendiri tentang fungsi dan kepentingannya.

Meluaskan Pandangan
Dalam kesempatan seminar yang membahagiakan ini, saya ingin mengajak Anda meluaskan pandangan tentang profesi editor. Perdebatan atau lebih tepatnya kegemasan sering muncul manakala pada saat ini masih banyak orang yang mengecilkan peran editor hanya sebagai penjaga ‘titik-koma’.

Kita lihat bahwa editor dari hanya seorang personel kemudian berkembang menjadi sebuah divisi atau departemen inti di dalam penerbitan. Bahkan, disebut-sebut bahwa bagian editorial adalah mata rantai utama sebuah penerbitan. Di dalam bagian inilah semua proses awal penerbitan yang signifikan terjadi: penyeleksian naskah – penyuntingan naskah – pengemasan naskah. Alhasil, banyak ilmu serta keterampilan yang kemudian digunakan untuk mempersiapkan sebuah naskah yang layak dibaca oleh publik.

Anda dapat lihat hasil survey berikut ini tentang rangking kompetensi editor yang diharapkan dari banyak media massa. Saya ambil dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ann E. Auman dari University of Hawaii dan Betsy Cook Alderman dari University of Tennessee. Penelitian ini sudah dipresentasikan di National Convention of Journalism and Mass Communication Educators di Washington, AS. Apa yang tercantum merupakan kemampuan yang paling diinginkan dari seorang editor (copy editor) di media.

Rangking of Expected knowledge/skill areas for copy editors
Rangking Ilmu atau Keterampilan

1 Tata bahasa, ejaan, dan tanda baca
2 Akurasi dan pemeriksaan fakta
3 Editing kata mubazir, kejelasan, dan struktur kalimat
4 Pengetahuan umum
5 Struktur cerita, organisasi, dan isi
6 Peduli etiket/moral
7 Penulisan headline
8 Pemikiran Analitik/Pemikiran kritis
9 Penggunaan dan penerapan gaya selingkung (Associated Press)
10 Pemotongan tulisan
11 Pertimbangan berita dan penyeleksian cerita
12 Peduli legalitas
13 Pemahaman angka-angka
14 Mekanikal editing dan editing komputer
15 Tata letak dan desain halaman
16 Foto dan editing artistik serta ukuran
17 Prosedur kamar berita dan organisasi
18 Bekerja dengan bahan berkoneksi kabel/jaringan (wire copy)
19 Editing bidang khusus/spesifik (misalnya, olahraga)
20 Melatih/bekerja dengan reporter
21 Penguasaan software untuk tataletak/penataan halaman
22 Tipografi
23 Pemahaman bahan grafis informatif/visual editing
24 Penggunaan warna
25 Penguasaan software grafis/editing foto di komputer
Sumber: Creative Editing, Dorothy A. Bowles dan Diane L. Borden, 2004, Thomson and Learning Academic Resource Center

Dari hasil survey tersebut tampak sekali besarnya harapan akan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan dari seorang copy editor (salah satu jenis editor) di media massa yang pada banyak sisi juga sama dengan harapan para penerbit buku. Karena itu, melihat harapan tersebut, sebagian besar editor mungkin akan terhenyak. Namun, menarik bahwa pengetahuan dan keterampilan berbahasa ditempatkan pada rangking nomor 1.

Kemahiran, kecerdasan, kepekaan, dan penguasaan teknologi menjadi karakter yang diharapkan oleh banyak penerbit. Seperti halnya dalam kajian yang dilakukan oleh Zalzulifa (Politeknik Media Kreatif) bahwa kerja editorial memerlukan pengembangan soft-skill. Hal ini yang terlihat dari pendapat karakteristik seorang copy editor yang baik menurut laporan dari William G. Connoly, Jr, Associated Press Managing Editors Writing and Editing Committee dalam studi untuk editor di The New York Times Week:

Seorang editor harus memiliki:
• kepercayaan diri;
• objektivitas;
• kepedulian;
• inteligensi;
• sifat alamiah bertanya;
• diplomasi;
• mampu menulis;
• rasa humor.

Dalam konteks psikologi masa kini maka seorang editor dituntut memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan sekaligus kecerdasan spiritual untuk mampu menjalankan multitugas menghasilkan produk tulisan bermutu. Bahasa populernya, otak kiri dan otak kanan editor harus bekerja seimbang.
Dalam hal ini secara keterampilan saya mencoba menyimpulkan bahwa seorang editor atau copy editor andal masa kini perlu memiliki kemampuan dasar berikut ini.

Keterampilan Standar Editing
• Writing (menulis)
• Reading (membaca)
• Listening (menyimak)
• Speaking (berbicara)
• Ilmu Kebahasaan Praktis (ejaan, tanda baca, kalimat, dan komposisi)
• Marketing Communication
• Desktop Publishing dan Tipografi
• Penggunaan dan penelusuran sumber informasi (kepustakaan, internet, dsb.)
• Pengetahuan Spesifik/Bidang keilmuan khusus

Coba kita lihat jenjang karier editor sendiri selain editor yang dikenal awam sebagai petugas yang memperbaiki bahasa. Oxford Brookes University menyusun standar organisasi editorial dan jenjang karier sebagai berikut.
1. Editor Director (Editor in Chief, Executive Editor, Vice President of Publishing);
2. Senior Editor (Acquisition Editor, Sponsoring Editor, Project Editor, dan Development Editor);
3. Managing Editor;
4. Associate Editor (editor, project editor, text book editor, specialization editor, right editor);
5. Copy editor;
6. Editorial Assistant (editorial secretary, editorial trainee).

Pada kenyataannya hampir sebagian besar penerbit di Indonesia tidak melaksanakan pembagian jenjang seperti ini karena terbanyak hanya menggunakan satu istilah ‘editor’. Hal yang baru muncul pada 2000-an adalah penambahan fungsi right editor (associate editor) dan acquisition editor (senior editor). Posisi puncak editor director ataupun chief editor juga jarang kita temukan dalam struktur penerbit di Indonesia. Apa yang terbanyak adalah menggunakan struktur standar organisasi bisnis yaitu manajer penerbitan. Dengan kompleksitas pekerjaan penerbitan saat ini, memang akhirnya beberapa penerbit mulai melirik standar pengembangan organisasi editorial seperti ini.

Merevitalisasi
Judul seminar ini menyiratkan bahwa peran editor itu belum dianggap vital meskipun pada kenyataannya yang berlaku di negara-negara maju, terutama dalam soal penerbitan, sudah jauh-jauh masa dianggap vital. Kita memerlukan revitalisasi peran. Namun, dengan minimnya pemahaman dan pengetahuan komprehensif tentang tugas dan fungsi editor, terutama oleh pelakunya sendiri di industri penerbitan, hal ini mustahil dapat cepat terwujudkan.

Terkadang editor sendiri yang mengecilkan perannya karena minimnya pengetahuannya. Kondisi ini jamak terjadi karena memang sebagian besar editor Indonesia adalah otodidak atau jadi editor karena ‘kecelakaan’—tidak memiliki pilihan lain dalam bekerja.

Hal yang lebih parah beberapa calon editor ataupun editor muda (pemula) merasa sudah pula menguasai bahasa Indonesia praktis karena sekali lagi merasa sudah mempelajarinya sejak SD hingga bangku kuliah. Namun, ketika dihadapkan dengan sejumlah kasus kebahasaan, mereka pun menganggap bahasa Indonesia ini sulit dan tidak fleksibel untuk digunakan dalam tulisan. Alhasil, muncullah percampuran bahasa yang kadang-kadang membuat kita miris atau juga muncul kecuekan berbahasa dengan anggapan pembaca pasti mengerti.

Di luar masalah bahasa, masalah kemasan (context) juga kerap menyiratkan ketidaktahuan editor soal perwajahan isi (interior design) dan perwajahan kulit (cover) sehingga banyak terjadi kekeliruan penerapan standar. Alhasil, tingkat keterbacaan dan kejelasan sebuah teks bacaan menjadi berkurang. Di sini terlihat keterbatasan pemahaman bahwa editor menganggap ranah perwajahan (desain) bukanlah ranah yang harus dia perhatikan.

***
Tidak hendak berpanjang lebih lanjut dari makalah ini, saya hanya ingin menyampaikan pesan dan harapan bahwa revitalisasi peran editor harus sudah dimulai dengan melakukan studi terhadap standar kompetensi editor itu sendiri per jenjang. Studi ini kemudian dilanjutkan dengan pewujudan sertifikasi profesi editor Indonesia. Dengan demikian, editor benar-benar mapan sebagai profesi yang memiliki jenjang karier, kode etik, dan tentunya standar tarif pekerjaannya.

Harapan pada tahun-tahun mendatang para editor Indonesia benar-benar terkumpul dalam satu wadah yang kuat dan bergengsi untuk memunculkan banyak prestasi. Penghargaan untuk editor hampir tidak ada, kecuali penghargaan untuk para penulis/pengarang ataupun desainer dan ilustrator. Editor selalu terpinggirkan karena memang perannya seperti tak tampak ke permukaan. Untuk itu, perlu aktivitas lebih dalam wadah semacam Forum Editor Indonesia agar eksistensinya semakin diakui.
Terima kasih.

*) Bambang Trim (BT), praktisi perbukuan Indonesia, alumnus Program Studi D3 Editing dan Sastra Indonesia Unpad. Ia telah bekerja menjadi editor sejak 1995 dan kini menjabat sebagai Direktur Penerbit Salamadani serta pendiri Dixigraf Publishing Service. BT dapat dihubungi di 08121466193 atau email: bambangtrim@penerbit-salamadani.com.

MAKALAH 2

MENYUNTING
Sebuah Pendirian

oleh Eko Endarmoko

MENYANGKAL RAMALAN SURAM para ekonom pada masa resesi menjelang akhir 1990-an, kira-kira semenjak tahun 2000-an industri penerbitan di Tanah Air boleh dikatakan justru menunjukkan kecenderungan bertumbuh subur. Kira-kira semenjak masa itulah kita mudah mendapatkan buku yang bukan lagi dihasilkan oleh badan penerbitan. Tampaknya sudah semakin banyak kantor, baik pemerintah maupun swasta—juga orang per orang—yang ternyata juga menyelenggarakan penerbitan (buku). Namun, sayangnya harus ditambahkan bahwa pertumbuhan dari segi jumlah ini kurang diimbangi dengan peningkatan dari segi mutu.

Pengamatan sambil lalu menunjukkan bahwa masih banyak soal mendasar dalam dunia penerbitan kita yang belum ditangani dengan sepatutnya, mulai dari pelbagai aspek yang bertalian dengan kemasan, termasuk tata rupa, sampai aspek bahasa, Apalagi jika kita tengok terbitan dalam bentuk terjemahan yang tak sedikit mengandung sekaligus dua kesalahan: salah dari segi ejaan dan tata bahasa Indonesia, salah juga dari segi penerjemahan. Tidak mudah menjawab pertanyaan mengapa mutu bahasa kebanyakan terbitan kita mengecewakan, kalau tak dapat dikatakan buruk. Salah satu penyebabnya barangkali terletak pada kenyataan bahwa masih banyak penyelenggara penerbitan itu yang tidak memiliki tenaga penyunting.

Sejak semula saya bukan bermaksud mengudar pelbagai persoalan di dunia penerbitan kita, melainkan hanya ingin membincangkan satu segi belaka, yaitu soal kerja menyunting di sana. Pemikiran yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa kerja menyunting, sebaiknya dilihat sebagai bagian dari sebuah sistem produksi yang menuntut bukan saja pengetahuan bahasa melainkan juga pemahaman mengenai tahap demi tahap pengerjaan atau proses kerja dari naskah mentah hingga menjadi buku.

Jika selama ini kebanyakan orang beranggapan bahwa kerja menyunting itu hanya berurusan dengan ejaan dan tata bahasa, tak lebih dari semacam kerja pertukangan, sebentar lagi akan kita melihat bahwa anggapan tersebut keliru, bahwa sebetulnya menyunting bukan sekadar mengurus segi bahasa sebuah naskah yang akan diterbitkan menjadi sebuah buku.

MENYUNTING ATAU MENGEDIT lazimnya dikaitkan dengan kegiatan mempersiapkan sebuah naskah, entah berupa tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Tugas penyunting di sini terutama mengolah aspek bahasa naskah itu dengan berpegang pada kaidah bahasa yang berlaku hingga sesampai di tangan pembaca menjadi lebih tertib dan mudah dimengerti. Apabila ada yang mengatakan seorang penyunting harus teliti dan memiliki pengetahuan tentang bahasa, mestilah segera kita sadari bahwa dua hal ini kiranya belumlah memadai.

Penyunting sudah dengan sendirinya perlu menguasai pengetahuan mengenai bahasa, dari soal ejaan, tata kalimat, sampai pada tataran makna. Ini saya kira bukanlah syarat melainkan semacam sifat yang lekat pada diri penyunting. Lebih penting di sini adalah kemampuan berbahasa—atau dalam rumusan lain, keterampilan berkomunikasi—yaitu bagaimana semua pengetahuannya tentang bahasa diwujudkan dalam praktik. Ia juga, tentu saja, diharapkan cukup memahami topik tulisan yang tengah ia garap, atau paling sedikit, konteks yang menelikungi teks garapannya. Sebelum meninjau soal ini lebih jauh, coba terlebih dulu kita menilik satu soal yang tidak berhubungan dengan bahasa, namun berpengaruh pada hasil kerja menyunting, yaitu rangkaian proses penggarapan naskah hingga menjadi barang cetakan.

Seorang penyunting ada baiknya memahami proses tersebut, sebab terkadang kita dapat menemukan kekeliruan yang sangat mungkin berpangkal pada abainya penyunting terhadap soal ini. Mari kita tengok secara sepintas sambil berharap menemukan pada tahap manakah sebuah kekeliruan bisa terjadi.

Anggaplah sebuah tulisan, entah sudah atau belum melewati tangan penyunting, telah “bersih”. Naskah ini kemudian, kita tahu, akan dibuatkan tata letaknya oleh seorang desainer atau operator dengan program tersendiri. Di sini “bahaya” naskah berubah sudah mengancam, entah karena soal teknis saat berganti sistem pengolah data/kata atau sebab ulah desainer/operator yang “dipaksa” oleh tuntutan artistik dan tata letak. Lalu naskah yang sudah berupa layout itu biasanya dicetak dengan pencetak Laser dulu sebelum prosesnya berlanjut. Pada tahap ini penyunting kadang-kadang masih memberi koreksi, dan di sini pun kekeliruan dapat terjadi. Barangkali sang desainer/operator salah atau malah alpa memasukkan “sedikit” koreksian tadi.

Sederhana saja sebetulnya yang ingin saya katakan, yaitu bahwa pekerjaan menyunting adalah sebuah proses meletihkan yang seolah tak kunjung selesai. Kadang penyunting mengira ia memiliki kuasa penuh atas naskah, bekerja sebagai unit tunggal dan terlepas dari unit-unit lainnya dalam satu rangkaian proses produksi. Ada bahaya pada anggapan ini, yaitu cenderung membuat si penyunting alpa atau lengah bahwa sebelum dan sesudah ia tangani, sebuah naskah bisa berubah tanpa setahu dia. Kadang juga penyunting mengira bahwa ia berurusan dengan bahasa semata, dan bahasa di sana ia perlakukan sebagai sarana atau medium belaka. Anggapan ini saya kira tak kurang berbahaya, sebab telah menjadi pangkal segala soal kebahasaan yang menjadi pokok pembicaraan dalam bagian berikut.

SAYA SETUJU DENGAN PANDANGAN bahwa penerapan kaidah berbahasa yang baik dan benar berperan besar dalam penciptaan kalimat yang mudah, dan kecil kemungkinan akan salah, dimengerti. Atau sebaliknya, kalimat yang kabur sering dapat dibuktikan terlahir dari tangan penulis yang abai pada kaidah berbahasa. Maka dapat dimaklumi apabila seorang penyunting pertama-tama dituntut menguasai betul kaidah bahasa, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, bagaimana membangun kalimat yang efektif, seperti apa rupa wacana yang elok dari segi bahasa.

Barangkali itu sebabnya mengapa timbul anggapan bahwa menyunting adalah memperbaiki bahasa. Anggapan yang kurang tepat benar ini dekat dengan pemikiran bahwa bahasa adalah alat, metode, dengan segala hukum di dalamnya, guna menyampaikan sesuatu maksud. Ini adalah anggapan yang melupakan segi paling penting dari bahasa, yaitu kenyataan bahwa bahasa adalah satu dunia tersendiri yang terdiri atas konsep dan makna: ada yang sudah dan ada pula yang belum punya nama. Ia punya aturan main sendiri, yang terkadang ganjil dan tak sejalan dengan—atau malah memunggungi, sebagaimana tampak pada karya sastra—aturan formal ketatabahasaan yang lazim. Ringkasnya, ilmu bahasa boleh jadi akan selalu mengalami kesulitan merumuskan gejala kebahasaan secara teoritis, memetakannya secara ilmiah.

Penyunting yang memandang bahasa sekadar alat telah terkecoh oleh pandangannya yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Berbekal kitab aturan bahasa, ia akan mencurahkan perhatiannya lebih kepada bentuk daripada isi. Ia juga akan terpaku pada detail dan abai pada wacana secara keseluruhan. Kalaulah berdasar pandangannya itu seorang penyunting kemudian berpendapat bahwa kaidah bahasa bersifat mutlak, ia saya kira sudah dikendalikan oleh semangat yang berlebihan di dalam upaya membangun kalimat yang necis. Ia senantiasa dibayangi hasrat, kalau tak dapat dikatakan ambisi, menemukan maksud tertentu sebuah teks.

Apabila pada suatu ketika seorang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia akan tergoda merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah ini bersifat niscaya, bahwa penyunting harus mencoret demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Barangkali tak disadari benar olehnya, seraya membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali dengan, sekali lagi, berpedoman pada kaidah bahasa yang baku, sambil kemudian tanpa sadar memasukkan pengertiannya sendiri.

Pengetahuan mengenai kaidah kebahasaan, bagi saya, bermanfaat bagi penyunting terutama sepanjang menyangkut bentuk atau segi-segi lahiriah sebuah naskah. Kaidah kebahasaan di situ bolehlah kita padankan dengan kemasan atau baju sebuah tulisan. Tapi kini kita tahu, lebih perlu bagi seorang penyunting adalah mengembangkan kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan melainkan juga apakah tulisan itu disajikan dengan menarik, dapat dimengerti, dan, yang tak kurang penting: valid.

KINI PERKENANKAN SAYA BERHARAP dapat menyajikan pengertian yang agak bulat tentang sosok penyunting berikut batas-batas pekerjaannya. Saya kira akan cukup bermanfaat apabila terlebih dulu kita membicarakan serba sedikit soal menulis—sambil tidak melupakan bahwa kata adalah satu soal yang paling banyak menyita perhatian penyunting—mengingat kegiatan menyunting amat dekat dengannya. Juga karena mengingat sosok penyunting berdiri tepat di antara penulis dan tulisannya di satu sisi, dan pembaca di sisi lainnya. Pemahaman yang lebih baik mengenai beberapa aspek kegiatan menulis ini, sebuah kerja yang, seperti juga menyunting, banyak bersinggungan dengan bahasa, mudah-mudahan dapat menambah pengertian tentang dunia sunting-menyunting.

Hal pertama yang perlu kita sadari adalah kenyataan bahwa ragam bahasa tulis dan ragam bahasa lisan memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu sama lain. Ragam bahasa tulis yang baku menuntut supaya beberapa jenis kata, seperti nama orang atau nama negara, ditulis dengan memakai huruf awal kapital―satu hal yang sangat sulit kita bayangkan apabila ketentuan ini mesti diberlakukan pula dalam bahasa lisan. Selain itu, berbeda dari berbicara, menulis mungkin dapat disebut absurd. Sebab, berbeda dari kecakapan berbicara yang kita peroleh lebih awal dan secara alamiah, kecakapan menulis kita dapat kemudian, dengan usaha yang lebih keras. Bayangkan saja, orang dituntut, entah oleh dirinya sendiri atau orang lain, memberi bentuk sesuatu yang mujarad, yaitu ide atau perasaan yang bersemayam dalam pikiran, ke dalam wujud tulisan. Memang ada perbedaan mendasar antara tuturan pada komunikasi lisan dan tulisan pada komunikasi tertulis. Komunikasi secara lisan galibnya lebih mudah dan lebih dapat berjalan lancar daripada melalui tulisan. Sebabnya jelas, apabila lawan bicara kurang mengerti, seketika itu juga kita dapat memperbaiki dengan mengubah, entah dengan menambah, mengurangi, atau mengganti, sebagian atau seluruh, apa yang sudah kita sampaikan sebelumnya. Selain itu, tekanan suara, mimik, dan gerak tubuh—unsur-unsur supra-bahasa yang tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh tanda-tanda dalam bahasa tulis—banyak membantu memperjelas apa yang kita maksud. Semua ini sangat berbeda dari komunikasi melalui tulisan.

Di dalam komunikasi tertulis, apa yang dimaksud oleh penulis kerap ditangkap atau ditafsir secara salah, atau jangan-jangan malah tidak dapat dimengerti, oleh pembacanya. Apabila itu yang terjadi, komunikasi boleh dikatakan telah gagal. Yang boleh jadi membuat masygul, seorang penulis—segera setelah tulisannya disiarkan dan sampai di tangan pembaca—tidak lagi punya kesempatan meralat. Di situ tampak sekali oleh kita bahwa penulis mau tidak mau mestilah sepenuhnya bersandar pada artefak bahasa, pada sistem tulisan: huruf, aksara, kata, dan tanda baca. Dirumuskan dalam kalimat lain yang lebih ringkas, persoalan yang dihadapi oleh penulis sering berpangkal pada kenyataan bahwa ia tidak sedang berhadapan langsung dengan lawan bicaranya, pembaca. Maka setidak-tidaknya ia mesti lebih bersungguh-sungguh di dalam membayangkan dan mengira-ngira apakah kalangan pembacanya kelak dapat memahami apa yang ia maksud dalam tulisannya.

Kira-kira di titik itulah seorang penyunting bekerja, yang dalam hal demikian berperan menjadi semacam jembatan antara penulis dan pembaca. Tugas dan tanggung jawabnya yang utama adalah memastikan bahwa maksud penulis dapat dipahami dengan baik dan benar oleh pembacanya. Baik, artinya, maksud penulis itu tidak diartikan berbeda oleh pembacanya. Benar (baca: valid), artinya segala fakta dan data yang barangkali terkandung di sana sepatutnya ia jaga agar senantiasa bersesuaian dengan kenyataan sebenarnya.

SEBENTAR LAGI kita akan melihat, kecakapan menulis seseorang banyak dipengaruhi oleh seberapa kaya kosakatanya dan seberapa jauh pemahaman dia akan satu demi satu kata dari senarai kata yang ia tahu itu. Makin miskin perbendaharaan kata seseorang makin sulit pula ia menyatakan ide, pikiran, atau perasaannya, secara lisan maupun tertulis. Karena kita tahu, kata-kata bukan hanya mengandung sesuatu pengertian melainkan bisa juga menyimpan pengalaman, perasaan, punya segi-segi emosional. Kata-kata “berpulang”, “meninggal”, dan “mampus”, misalnya, meskipun sama-sama mengantarkan kepada kita pengertian mengenai raibnya nyawa manusia, masing-masing mengandung muatan emosi, disebut rasa bahasa, yang derajatnya berbeda-beda. Memilih memakai kata mana di antara ketiganya bukanlah terutama didasarkan pada hasrat ingin mewartakan sesuatu yang berhubungan dengan makna literalnya itu—tidakkah semuanya bermakna sama belaka? maka tak ada keperluan memilih di situ—melainkan lebih dipengaruhi oleh perasaan si penutur atau penulisnya akan kadar dan corak kedekatan dia dengan mendiang. Meskipun “mampus” sama belaka artinya dengan “meninggal”, seorang anak yang baik, manakala memperkatakan orangtuanya yang baru meninggal, hampir dapat kita pastikan akan menghindari kata “mampus” (yang bernada kasar) melainkan akan memilih kata “meninggal” (terasa lebih sopan dan menghormati, bukan?). Di sini, anggapan atau asumsi-asumsi “kasar” untuk kata “mampus”, atau “sopan” untuk kata “meninggal” bukan hanya berlaku bagi, atau manakala ditilik dari sudut pandang, si anak tersebut. Saya kira kebanyakan dari kita, penutur bahasa Indonesia dewasa ini, juga sepakat dengan pelekatan sifat-sifat tersebut pada kata-kata yang bersangkutan. Inilah apa yang disebut kesepakatan, konvensi di antara para pemakai bahasa.

Mufakat atau konvensi semacam itu jugalah yang melahirkan ikatan antara satu kata (baca: penanda) dan maknanya (petanda), sebuah ikatan yang pada kenyataannya cenderung longgar, tidak pernah tetap dan langgeng seperti yang mungkin anda bayangkan. Makna barangkali dapat kita ibaratkan balon yang jika kita pegang di sini, akan menggelembung di sana. Tapi manakala bagian itu kemudian kita pegang, dia akan menggelembung lagi―di tempat lain. Dan begitu seterusnya. Dengan demikian, perumusan arti yang tegas-terang atas sebuah kata dalam kamus bukanlah sekadar menjadi tanda dari, melainkan sekaligus merupakan sebuah ikhtiar melestarikan, membekukan, perhubungan antara kata dan maknanya tersebut. Dalam praktik berbahasa, hubungan di antara keduanya itu, ingat tamsil balon tadi, sebenarnya sangat labil; sebuah kata sering benar mengelak dibekuk dalam definisi yang bulat-final. Ia senantiasa membuka diri selebar-lebarnya untuk diisi makna apa saja, oleh sesiapa saja, dan kapan saja.

Inilah watak bahasa. Namun, itu tentu saja bukan berarti semau-maunya tanpa mengenal batas. Kebebasan ini tetaplah dilingkungi sebuah garis maya bernama kesepakatan yang terbangun di antara para pemakai bahasa, sebuah kehendak yang pada dirinya lebih menawarkan kompromi ketimbang pemaksaan atau dominasi dari salah satu pihak.

YANG INGIN SAYA KATAKAN, khazanah kata yang kaya semata kiranya belumlah memadai, tidak otomatis memberi jaminan, sebab persoalannya bukan sekadar berusaha agar terhindar dari pengulangan yang mendatangkan rasa bosan. Keterbatasan kosakata, umpamanya, sudah terlihat mengundang persoalan bahkan baru pada tataran kalimat: “Kejadian itu terjadi sangat cepat”. Lebih dari memiliki khazanah kata yang kaya, seorang penulis eloknya juga memperlihatkan kemampuan memakai ungkapan yang jitu untuk sesuatu konsep atau pengertian, tahu memilih kata atau istilah yang tepat sesuai dengan konteksnya, serta mengerti bagaimana merangkai semua itu ke dalam kalimat, mengerti pula bagaimana menganggit kalimat demi kalimat menjadi paragraf demi paragraf, sampai akhirnya menjadi sebuah wacana yang terang, tepat, dan runtut.

Diakui atau tidak, belum banyak penulis kita yang cermat dalam berbahasa, yang mempertimbangkan diksi dengan bersungguh-sungguh. Dugaan yang bukan tanpa dasar ini sekurang-kurangnya tampak pada kenyataan bahwa kita lebih mudah menemukan pemakaian kata yang umum, generik, ketimbang yang khusus, spesifik. Kata “melihat”, misalnya, apakah yang sebenar-benar dimaksud itu adalah “memandang” atau “menatap” atau “melongok” atau “melirik” atau “menonton” atau “mengintai”, atau “mengawasi”? Contoh beberapa kata generik lain: “memegang”, “mengambil”, atau “pohon” (pohon apa?). Kata “jatuh” pun dapat sangat bervariasi, bergantung benda apakah yang jatuh itu (gugur, luruh, roboh, rontok, runtuh, tanggal, tumbang), pun bagaimana posisi jatuhnya (terjerembap, tersungkur, terjengkang, terkapar, tergolek). Lihatlah, semakin khusus kata yang dipakai, akan semakin mendetail sekaligus semakin tajam pula pemerian yang yang sampai kepada kita.

Dengan meleretkan sekaligus beberapa kata serta serentet padanan kata-kata tersebut, saya kira kita jadi punya cukup alasan meragukan kebenaran sinyalemen sebagian orang selama ini yang menyatakan bahasa Indonesia miskin istilah. Sebuah isyarat yang seakan-akan menyodorkan argumen bagi, atau memberi pembenaran kepada, penggunaan semakin banyak kata dari bahasa asing. Jangan-jangan, semakin hari memang sudah semakin banyak di antara kita yang semakin tidak akrab dengan bahasa sendiri. Itu gampang kita buktikan dengan memerhatikan kian banyaknya kata dan istilah asing yang menyelinap dengan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Saya kira kemalasan berpikir sejenak demi menemukan istilah untuk suatu pengertian dalam bahasa sendirilah yang tak pelak menyebabkan wacana di sekeliling kita disesaki kata dan istilah yang semakin tidak terasa asing: artikulasi, ekspektasi, formulasi, identifikasi, interpretasi, kapasitas, karakter, opsi, signifikan . . . . Sebuah stasiun televisi swasta malah tanpa rasa gamang sedikit pun memakai kata-kata dari bahasa Inggris, untuk hampir semua nama mata acaranya―termasuk dalam melafalkan kata “Cina” yang dibunyikan “chaina” (jadi, bayangkanlah dalam bahasa Indonesia ada bentuk “petai chaina” dan kawasan “pechainan”).

Bahasa Indonesia pastilah tidak mungkin dapat bersikap anti-asing. Terlalu banyak konsep dan istilah baru dari pelbagai bahasa asing yang memang tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, juga dalam bahasa daerah yang jumlahnya mencapai ratusan itu. Tetapi, itu bukan berarti lantas kata-kata asing dapat kita pakai sesukanya tanpa batas.

TIDAK BISA DIMUNGKIRI, kata-kata serapan mengayakan kosakata bahasa Indonesia. Namun, saya rada khawatir, pemakaiannya yang terlampau kerap, dalam bayangan saya, lambat-laun akan mengakibatkan sejumlah kata dalam khazanah bahasa Indonesia jadi semakin jarang dipakai lagi hingga secara tak terelakkan lambat-laun bakal terlupakan. Pada titik ini kita tentu tidak perlu tergelincir jadi berpandangan nasionalistis yang rada picik, atau malah mendekat ke sikap chauvinistis. Bagi saya, soal-soal semacam ini, tidak bisa tidak menjadi pekerjaan rumah dan tantangan tersendiri bagi kalangan penyunting. Pembebanan “tugas tambahan” ini ke bahu para penyunting, menurut saya sekurang-kurangnya memperlihatkan betapa lingkup kerja mereka sejatinya tak semata-mata mengutak-utik fisik bahasa: tanda baca, kata, kalimat―kecuali apabila visi seperti ini dianggap tidak penting atau berlebihan.

Kecermatan di dalam berbahasa, bukan hanya tampak pada pilihan kata yang jitu, tapi juga yang sesuai dengan konteksnya. Kata “ulama”, umpamanya, jelas kurang pas benar jika dipakai untuk memerikan kalangan rohaniwan bukan Islam. Pada sekitar masa setelah tumbangnya rezim Orde Baru, ini contoh lain, ada segolongan masyarakat, umumnya sudah cukup berumur, yang menolak memakai kata “Cina”; mereka lebih suka menggunakan kata “Tionghoa”(bagimana kita menerima bentuk “petai tionghoa”?). Rupanya istilah “Cina” oleh mereka dianggap sudah cemar, mengandung konotasi negatif: terkesan rasis, merendahkan sekaligus menyiratkan kebencian dan rasa dengki. Perhatikan juga perbedaan efek pada penggunaan salah satu dari dua kata yang sebenarnya punya makna sama belaka: “karyawan” dan “buruh”.

Sampai sejauh ini saya tidak sedang membicarakan tulisan fiksi. Sebab, karya fiksi, terutama ragam puisi, justru menyajikan makna yang majemuk. Ia bermakna ganda yang sifat multitafsirnya itu memang disengaja antara lain dengan menjaga, atau malah memaksimalkan, terpautnya sebanyak mungkin makna konotatif, makna siratan, pada sebuah kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, bahkan hingga tataran wacana secara keseluruhan.

Singkat kata, membaca sebuah tulisan, terlebih yang berupa karya sastra, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan latar sosial, taraf pengetahuan, tingkat kedewasaan, dan pengalaman membaca masing-masing. Makin banyak arti yang ditawarkan (atau yang ditangkap oleh kita sebagai pembaca), makin asyik pesona yang kita peroleh—satu hal yang berseberangan dengan, atau malah dihindari oleh, tulisan nonfiksi yang menuntut kejelasan. Perbedaan watak teks fiksi dan teks nonfiksi ini dengan sendirinya menyebabkan cara penanganan keduanya pun jadi berbeda.

Jadi, apakah “penyunting”? Apa pula yang ia kerjakan sebenarnya?

KEPATUHAN PADA KAIDAH DALAM BERBAHASA menurut saya menunjukkan bukan sebuah sikap patuh, taat, melainkan semacam rasa bangga. Tengoklah, sesiapa yang bahasanya karut-marut, antara lain menyertakan cukup banyak tata istilah asing, patut kita curigai tak punya kebanggaan pada bahasa sendiri, bahasa Indonesia. Di sekitar lingkup persoalan-persoalan itulah seorang penyunting, yang secara sederhana terkadang disebut juga penyelaras bahasa, paling banyak bekerja menjalankan perannya. Maka perkenankanlah saya mengimbuhkan satu saja peran penyunting: ia seyogianya menyemaikan rasa bangga itu di kalangan pemakai bahasa Indonesia.

Tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa sang penyelaras bahasa alias penyunting itu harus memiliki pengetahuan bahasa yang memadai seolah-olah itulah satu-satunya persoalan yang dihadapi dan mesti diselesaikan oleh penyunting sehingga patut dinyatakan lebih tegas sebagai syarat mutlak menjadi penyunting. Saya melihat ada persoalan di balik desakan tersebut. Seperti tadi sudah saya katakan, penyunting menguasai pengetahuan bahasa, menurut saya, bersifat niscaya. Ini lebih merupakan sifat yang lekat pada diri seorang penyunting daripada mesti dianggap sebagai sebuah syarat. Lebih patut dipersoalkan adalah apakah bila dikatakan penyunting harus mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, lantas juga berarti harus mematuhi kaidah itu? Inilah “paradoks” dalam kerja menyunting sebagaimana nanti akan kita bincangkan, setelah, atau sambil mencoba menjawab pertanyaan: apakah “penyunting”? Juga, apakah “menyunting”?

Istilah “penyunting” sering dipakai berganti-ganti dengan “editor”. Kedua istilah ini sebenarnya punya arti sama belaka. Tapi, entah sejak kapan persisnya dan entah siapa pula yang memperkenalkan, kini kita mengenal istilah lain: “penyunting naskah”, sebagai padanan “kopi editor”. Barangkali istilah ini diperkenalkan oleh penerbit besar yang bidang-bidang kerjanya sudah semakin terspesialisasi. Seperti diisyaratkan oleh sebutannya, penyunting naskah semata-mata berurusan dengan naskah, yaitu naskah dari segi bahasa. Ia tidak terlalu berurusan dengan isi konseptual naskah, satu soal yang boleh dibilang justru menjadi pokok perhatian, obyek garapan, seorang penyunting. Ia bekerja di bawah arahan penyunting, membantu mengoreksi kesalahan “kecil-kecil”, seperti tanda baca, salah ketik—termasuk ejaan—dari sebuah naskah yang sudah digarap oleh penyunting. Saya kira istilah yang lebih mengena untuk “kopi editor” atau “penyunting naskah” adalah “korektor” saja. Istilah “editor naskah” di satu sisi mendorong kita berpikir, tentu ada editor-editor lain, yaitu editor non-naskah, entah apa sebutannya yang lebih tepat, namun pastilah tidak cukup bila diistilahkan secara ringkas dalam satu kata: “editor” atau “penyunting” di sisi lain. Editor dan korektor pada akhirnya terbedakan bukan oleh lingkup kerja—mereka pada dasarnya sama-sama berkutat memperbaiki bahasa sebuah naskah; jadi, bidang kerja mereka beririsan—melainkan oleh lingkup tanggung jawab mereka.

Di dunia tempat sekian banyak ide berlintasan, apa kerja seorang penyunting sebenarnya? Tidak lain dari sebuah kerja meletihkan yang tidak banyak dimengerti orang-orang di luar sana. Kita membayangkan penyunting sudah bekerja sebelum sebuah naskah mulai ia garap dan coreti. Hal pertama yang ia kerjakan adalah membaca, dan kemudian menilai layak tidaknya naskah itu diterbitkan. Apabila sebuah naskah sudah diputuskan diterima, sang penyunting mesti memperbaiki bahasanya, dari kekeliruan tanda baca dan salah ketik, cara menuliskan kata, susunan kalimat, sampai struktur wacana secara keseluruhan. Seorang penyunting pertama-tama sudah barang tentu dituntut menguasai kaidah dan tata bahasa bahasa Indonesia, tahu persis bagaimana menggunakan tanda baca, bagaimana bangun kalimat yang efektif, memahami mana bentuk kata yang baku dan mana yang tidak, dan seperti apa rupa wacana yang baik.

Maka menyunting atau mengedit lazimnya dihubungkan dengan kegiatan mempersiapkan, dalam arti memperbaiki atau mempercantik, sebuah wacana berupa naskah, entah sebuah tulisan pendek atau calon buku, dari segi bahasa. Tugas pokok penyunting adalah mengelola bahasa sebuah naskah, melakukan perbaikan di mana perlu, dengan berpegang pada kaidah bahasa Indonesia baku hingga sesampai di tangan pembaca, tata bahasa naskah itu menjadi lebih tertib. Namun, sekali lagi, yang jauh lebih penting sebenarnya adalah: gagasan penulis kelak mestilah dapat dimengerti oleh pembaca. Dirumuskan dalam kalimat lain, kerja menyunting tak lain dan tak bukan berurusan dengan bahasa. Biasanya di sini bahasa dipandang tidak lebih dari alat atau sarana belaka bagi penulis guna menyampaikan ide atau perasaannya.

Saya kira itu adalah rumusan yang terkesan terlampau disederhanakan, sebab di dalam bekerja seorang penyunting, agak berbeda dari korektor, sepatutnya menangani bukan hanya aspek bahasa melainkan juga gagasan, jadi, sekaligus bentuk dan isi, sebuah naskah. Oleh sebab itu, redaktur kolom atau rubrik di koran dan majalah dapatlah kita setarakan dengan penyunting buku. Sebagai penyunting mereka tidak hanya berkewajiban memperbaiki salah ketik dan ejaan yang keliru, serta mengungkai kalimat yang ruwet, melainkan juga meluruskan ide-ide yang bengkok—hal terakhir ini tampaknya belum banyak dipersoalkan.

SAYA HENDAK MENGAJUKAN PENDIRIAN bahwa sebenarnya bukan aturan tata bahasa yang membimbing seorang penyunting tatkala ia bekerja—aturan itu sebetulnya tidak lebih dari perangkat kerja belaka, sekalipun kerap berlaku, atau yang benar: diperlakukan, sebagai pedoman—melainkan pengertian-pengertian. Pokok garapan penyunting yang sesungguhnya adalah ide atau gagasan, bukan bahasa. Maka masuklah ia dengan asyik ke tubuh naskah dari awal hingga tuntas menelusuri cerita atau penyajian pengertian demi pengertian. Akibatnya, sepanjang dan sampai ia selesai bekerja, perhatian penyunting itu lebih banyak, atau malah sepenuhnya, tercurah ke isi daripada bentuk. Ia sudah terlena, sebab kelewat mementingkan ide dalam wacana dan tidak peduli benar pada pemakaian bahasanya. Pada titik ini, jelas si penyunting juga telah terkecoh oleh pandangan dia yang tidak utuh mengenai kerja menyunting. Di sini pandangan si penyunting tentang bahasa sedikit banyak ada pengaruhnya. Tidak penting bagi dia apakah sebuah kata ditulis dengan huruf besar atau kecil, sebab jauh lebih penting pembaca dapat mengerti. Atau sebaliknya, sikap abai terhadap kaidah bahasa sangat boleh jadi merupakan akibat dari pendirian yang mementingkan ide atau kandungan isi sebuah naskah.

Jangan-jangan, seperti sudah saya nyatakan di atas, memang tidak sedikit penyunting yang kerap terkecoh, karena terlampau dihantui kehendak menemukan maksud tertentu sebuah teks. Bila suatu ketika sang penyunting ragu akan, atau kurang memahami, maksud yang ia bayangkan terkandung di dalam teks, ia mungkin akan terdorong merombak teks tersebut. Sebagian penyunting malah meyakini bahwa pekerjaan mengubah naskah itu bersifat niscaya, bahwa penyunting harus meninggalkan coretan demi menunjukkan bahwa ia sudah bekerja. Boleh jadi sungguh tidak ia sadari, tatkala membongkar bangun kalimat, ia sebenarnya juga membongkar dunia bahasa, dunia makna di dalamnya. Menjadi persoalan adalah manakala si penyunting mempreteli teks dan menatanya kembali—dengan berpedoman pada kaidah bahasa yang baku—sambil kemudian, dengan atau tanpa sadar, memasukkan pengertiannya sendiri, sebuah laku menafsirkan, yang bisa saja keliru, atau berbeda dari yang dimaksud oleh penulis.

Jangan pernah dilupakan, tubuh sebuah wacana tidak lain dari kumpulan ide yang saling berjalinan. Kesadaran akan hal ini sepatutnyalah mendorong seorang penyunting terus-menerus awas terhadap setiap pernyataan atau pemakaian suatu istilah yang barangkali menurutnya rada ganjil, entah karena setahu dia tidak bersesuaian dengan fakta atau karena ia sendiri tidak terlalu yakin. Tidak sulit menguji kebenaran tiap pernyataan atau data yang menimbulkan keraguan seperti itu, sebab kini sudah tersedia banyak sekali sumber rujukan, dari berbagai macam kamus, ensiklopedia, sampai situs-situs di internet. Penyunting, menurut hemat saya, punya kewajiban moral yang melarang dia membiarkan keganjilan seperti itu pada naskah yang akan diterbitkan atau disiarkan. Paling sedikit, ia dapat mempersoalkan satu perkara pada penulis manakala hal ini mungkin. Semua ini bukan lantas berarti seorang penyunting dapat mengendurkan kewaspadaannya akan pemakaian bahasa sebuah naskah yang tengah ia garap. Sebab, celakalah orang yang terlalu percaya pada bahasa, terutama kata-kata, bahkan di dalam tulisannya sendiri, antara lain karena sebuah kata sering berkhianat sehingga maksud dia gampang ditafsirkan lain.

Itu karena makna teks kerap hadir sebagai sesuatu yang cair, karena satu kata (seperti juga bentuk yang lebih luas, yaitu kalimat dan wacana) bisa punya beragam arti dan watak. Kata “kanan” dan “kiri” kita tahu menunjukkan orientasi arah, tapi dalam kenyataannya dapat merujuk pada haluan atau kelompok ideologi politik tertentu. Pada tataran wacana, sudah dikatakan di atas, manakala membaca sebuah tulisan, setiap orang akan punya penafsiran sendiri sesuai dengan kepentingan, latar sosial, taraf pengetahuan, tingkat kedewasaan, dan pengalaman membaca masing-masing. Sebuah tulisan dikatakan gelap, alias tidak dapat dipahami, terkadang bukan karena pembaca bodoh sebagaimana mungkin sekali dituduhkan oleh kalangan penulis, melainkan karena idenya dirumuskan dalam tulisan yang berbelit-belit.

Tadi saya katakan, sebuah kata sering “berkhianat” — ini sebetulnya tidak tepat benar. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Bagaimana mungkin sebuah benda yang tidak punya nyawa, pikiran, dan kehendak, dapat berkhianat? Yang dapat dan memang cukup sering terjadi: di luar kendali atau kehendak kita, sebuah kata bisa saja menghantarkan makna yang tidak kita maui, yang tidak kita maksudkan seperti antara lain ditunjukkan oleh beberapa ilustrasi pada paragraf-paragraf di atas.

Kadang saya bertanya-tanya, sudah sedemikian jelekkah bangun bahasa Indonesia sehingga tak mampu lagi menjadi wadah yang baik bagi ide-ide penulis? Jika tidak, itu berarti para penulislah―termasuk penyunting, barangkali―yang enggan berkeringat di dalam menjelajahi pelbagai kemungkinan yang tersedia di dalam bahasa Indonesia. Tapi jika benar begitu, patut kita bertanya-tanya, apakah yang sudah dikerjakan para penyunting atau redaktur selama ini?

Kerja menyunting, sekali lagi, bagi saya menuntut bukan saja pengetahuan bahasa atau linguistik, melainkan juga pengetahuan berbahasa. “Pengetahuan bahasa” adalah pengetahuan teoritis tentang bahasa, yaitu pengetahuan mengenai ilmu bahasa serta teori dan kaidah-kaidah kebahasaan. Sedangkan “pengetahuan berbahasa” adalah sebuah kecakapan: bagaimana semua pengetahuan teoritis tentang bahasa diwujudkan, diterapkan, diejawantahkan dalam praktik. Fungsi seorang penyunting tidak berhenti pada pelurusan aspek-aspek bahasa belaka. Soal-soal “sipil” ini biasanya dianggap sebagai porsi untuk korektor. Sebab, soal paling genting adalah apakah ide penulis sampai ke pembaca persis seperti yang dimaksudkan oleh penulisnya. Dan benar, dalam arti valid, bersesuaian dengan fakta.

Tetapi, sekali lagi saya bertanya, apakah bila dikatakan bahwa penyunting mesti mengerti kaidah tata bahasa Indonesia, itu sekaligus berarti harus mematuhi kaidah itu? Di titik inilah kita bersua dengan “paradoks” dalam kerja menyunting.

KALAU boleh meringkaskan kembali, penyunting atau redaktur tidak selalu berurusan dengan tubuh sebuah naskah. Ia juga mesti menghiraukan kandungan ide di dalamnya sepanjang tidak menyangkut pandangan penulis. Tidakkah bisa saja terjadi, misalnya, seorang penulis keliru memahami sebuah teori, katakanlah tentang strukturalisme atau dekonstruksi? Itu kasus yang patut dipersoalkan seorang penyunting atau redaktur, bukan pandangan penulis. Sebab jika hal terakhir yang terjadi, ia sudah melakukan sensor di sana.

Mudah-mudahan kian menjadi teranglah, seorang penyunting atau redaktur, selain kemampuan bahasa, perlu mengembangkan, pertama, kemampuan berbahasa, sebab nilai sebuah tulisan bukan semata terletak pada pelaksanaan kaidah kebahasaan, melainkan juga apakah tulisan itu dapat dimengerti dan yang tak kurang penting, valid. Kedua, kepekaan akan adanya perbedaan antara “menyunting” dan “menyensor”.

Di dalam bekerja, seorang penyunting selalu berada di tengah medan ide atau pengertian yang silang-sengkarut. Di tengah keriuhan itu, sang penyunting yang baik akan selalu mencadangkan kecurigaan sewaktu menatah kalimat, menyingkap selubung makna, dan mengawasi serta merawat bangun kalimat sampai pada tataran wacana. Pengetahuan kebahasaan, dalam kenyataan, tak banyak menolong bilamana seorang penyunting berhadapan dengan isi, dengan ide, dan dengan persoalan-persoalan konseptual. Bukan teori linguistik yang ia perlukan di situ, melainkan pengetahuan mengenai materi, pokok soal, yang diketengahkan penulis. Termasuk, tentu saja, kepekaan terhadap soal-soal yang bersinggungan dengan etika. Di situlah letak tanggung jawab moral seorang penyunting atau redaktur.

Bekasi, 16 November 2009

pose saya kok wagu nian ya… 😦

3 komentar di “Dunia Kepenyuntingan di Mata Dua Maestro

  1. hai salam kenal, saya mau tanya untuk kelancaran tugas saya, pertanyaan nya adalah,, apabila sedang meng-edit sebuah buku yang pengarangnya sudah meninggal, jika ada hal yang tidak dimengerti, apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang editor dalam kondisi seperti ini?
    terimakasih atas bantuannya,,, ^^

    • Terima kasih atas pertanyaannya. Berat sekali, tapi sangat menarik hehehe.

      Secara teori maupun etika (apalagi undang2 :), tidak ada yg mengatur itu secara mutlak. Mekanisme konfirmasi kepada penulis pun bukan sesuatu yg menjadi harga mati. Menggunakan media jelangkung untuk konfirmasi kepada arwah penulis juga tak akan diakui secara ilmiah (wkkk, sori bgt keceplosan 🙂

      Sebenarnya, penggambaran kasus yg Mbak sampaikan itu agak kurang lengkap, karena belum ada keterangan apakah naskah itu naskah terjemahan atau bukan. Pada hemat saya, jika naskah itu terjemahan, mending dibubuhkan catatan kaki yg menunjukkan kutipan kalimat asli dari si penulis. Sehingga, pembaca dapat meluruskan tafsirnya kembali dengan mengacu kepada teks asal.

      Jika bukan terjemahan, ada setidaknya tiga opsi.

      Pertama, kerahkan kemampuan maksimal dalam proses pemahaman yg dilakukan oleh editor. Itulah mengapa seorang editor yg baik dan benar tidak hanya harus paham tata bahasa dan tata kelola bahasa, melainkan juga memahami konteks dengan baik. Sehingga ada sub-spesialisasi, semisal editor bidang politik, editor bidang sastra, editor bidang filsafat, editor bidang sains, dll. Di sini jugalah pertanggungjawaban intelektual seorang editor ditantang habis.

      Kedua, bisa dibuat survei kecil2an semi-profesional. Seringkali karena kita telanjur lekat dengan sebuah teks, kita malah jadi sulit mengambil “jarak objektif” dengan teks itu. Akibatnya yg terjadi kemudian adalah semacam distorsi serta hal2 semacam “ketidakpahaman” sebagaimana yg Mbak contohkan. Bila gejala itu yg berjalan, bisa ditempuh cara komparasi dengan opini kedua, ketiga, keempat, dst. Yakni dengan menunjukkan kepada beberapa rekan (tentu bukan asal orang, melainkan mereka yg juga cukup layak utk dimintai perspektifnya) ttg teks yg tengah disunting oleh si editor. Nah, dari sana akan muncul bantuan perspektif dari beberapa orang untuk lebih membangun konstruksi pemahaman yg setidaknya lebih dapat dipertanggungjawabkan secara “berjamaah” hehehe

      Ketiga, sekali lagi bila bukan naskah terjemahan, sementara editor tidak memahami sebuah bagian dari naskah, langkah yg dapat “dilakukan” adalah membiarkannya apa adanya. Inilah langkah pungkasan yg paling putus asa :))))

      Semoga berguna. Salam kenal ya Mbak/Dik. Sukses dengan tugasnya.

  2. thanks ya mas
    moga dengan file menyunting dapat membantu dalam sikripsi saya,
    klo bsa bantu saya mas, kebetulan saya jurusan sastra Indonesia dalam tahap menyususun skripsi. mohon bantu saya, apa saja yang berkaitan dengan judul saya ” PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENYUNTING KARANGAN :
    THANKS

Tinggalkan Balasan ke mabukbahasa Batalkan balasan